pengimajian dalam puisi

Standar

Pengertian Puisi

Puisi adalah bentuk karya sastra yang menggunakan kata-kata yang indah dan kaya makna. Keindahan sebuah puisi disebabkan oleh diksi, majas, rima, dan irama yang terkandung dalam karya sastra. Adapun kekayaan makna yang terkandung dalam puisi dikarenakan oleh pemadatan segala unsur bahasa. Bahasa yang dipergunakan dalam dalam puisi berbeda dengan bahasa yang kita gunakan sehari-hari. Puisi menggunakan bahasa yang ringkas, namun maknanya sangat kaya. Kata-kata yang digunakan konotatif, yang mengandung banyak penafsiran.

Berdasar hal itu, dapatlah dirumuskan ciri-ciri puisi:

1. Dalam puisi terdapat pemadatan segala unsur kekuatan bahasa.

2. Dalam penyusunannya, unsur-unsur bahasa itu dirapikan, diperbagus, dan diatur sebaik-baiknya
dengan memperhatikan irama dan bunyi.

3. Puisi berisikan ungkapan pikiran ungkapan pikiran, penyair berdasarkan pengalaman imajinatif.

4. Bahasa konotatif

5. Puisi dibentuk struktur fisik ( diksi, pengimajian, kata konkret, majas, ritma/ rima,
tipografi) dan unsur (struktur) batin (tema dan amanat, perasaan, nada dan
suasana)

B. Unsur-unsur/ Struktur Puisi

1. Unsur Fisik (bentuk)

a. Diksi (pemilihan kata)

Penyair sangat cermat dalam memilih kata-kata. Kata-kata dipertimbangkan makna, komposisi bunyi dalam rima dan irama, kedudukan kata itu dalam konteks atau dalam hubungan dengan kata yang lain, serta kedudukankata dalam keseluruhan puisi. Leh karena itu, di samping memiliki kata yang tepat, penyair juga mempertimbangkan urutan kata dan kekuatan/ daya magis kata-kata.

Pemilihan kata-kata dalam puisi hendaknya bersifat puitis, yang mempunyai efek keindahan dan berbeda dengan kata-kata yang biasa kita pakai sehari-hari.

b. Pengimajian

Pengimajian/ Citraan dalam Puisi adalah gambar-gambar dalam pikiran dan bahasa yang menggambarkannya. Setiap gambar pikiran disebut citra atau imaji (image). Adapun gambaran pikiran adalah sebuah efek dalam pikiran yang sangat menyerupai, yang dihasilkan oleh penangkapan kita terhadap sebuah objek yang dapat dilihat oleh mata (indra penglihatan). Jika dilihat dari fungsinya, citraan atau pengimajian lebih cenderung berfungsi untuk mengingatkan kembali apa yang telah dirasakan.

Dengan demikian, citraan tidak membuat kesan baru dalam pikiran. Kita akan kesulitan menggambarkan objek atau sesuatu yang disampaikan dalam puisi jika kita belum pernah sama sekali mengalami atau mengetahuinya. Oleh karena itu, kita akan mudah memahami puisi jika memiliki simpanan imaji-imaji yang diperoleh dari pengalamannya.

Ada beberapa jenis citraan yang dapat ditimbulkan puisi, yakni
sebagai berikut.

1). Citraan Penglihatan dalam puisi

Citraan penglihatan ditimbulkan oleh indra penglihatan (mata). Citraan ini merupakan jenis yang paling sering digunakan penyair. Citraan penglihatan mampu memberi rangsangan kepada indra penglihatan sehingga hal-hal yang tidak terlihat menjadi seolah-olah terlihat.
Contoh citraan penglihatan dapat dilihat dari kutipan puisi berikut.

Perahu Kertas
Waktu masih kanak-kanak Kau membuat perahu kertas
dan kau
layarkan di tepi kali; alirnya sangat tenang, dan perahumu
bergoyang menuju lautan.

Karya Sapardi Djoko Damono
Sumber: Perahu Kertas, 1991

2). Citraan Pendengaran dalam Puisi

Citraan pendengaran berhubungan dengan kesan dan gambaran yang diperoleh melalui indra pendengaran (telinga). Citraan ini dapat dihasilkan dengan menyebutkan atau menguraikan bunyi suara, misalnya dengan munculnya diksi sunyi, tembang, dendang, suara mengiang, berdentum-dentum, dan sayup-sayup.
Contoh citraan pendengaran dapat dilihat dari kutipan puisi berikut.

Penerbangan Terakhir

Maka menangislah ruh bayi itu keras-keras
Kedua tangan yang alit itu seperti kejang-kejang
Kakinya pun menerjang-nerjang
Suaranya melengking lalu menghiba-hiba

Karya Taufq Ismail
Sumber: Horison Sastra Indonesia 1 :Kitab Puisi 2002

3). Citraan Perabaan dalam Puisi
Citraan perabaan atau citraan tactual adalah citraan yang dapat dirasakan oleh indra peraba (kulit). Pada saat membacakan atau mendengarkan larik-larik puisi, kita dapat menemukan diksi yang menyebabkan kita merasakan rasa nyeri, dingin, atau panas karena perubahan suhu udara.
Berikut contoh citraan perabaan dalam puisi.

Blues untuk Bonie

sembari jari-jari galak di gitarnya
mencakar dan mencakar
menggaruki rasa gatal di sukmanya

Karya W.S. Rendra
Sumber: Horison Sastra Indonesia 1 : Kitab Puisi 2002

4). Citraan Penciuman dalam puisi

Citraan penciuman atau pembauan disebut juga citraan olfactory. Dengan membaca atau mendengar kata-kata tertentu, kita seperti mencium bau sesuatu. Citraan atau pengimajian melalui indra penciuman ini akan memperkuat kesan dan makna sebuah puisi.

Perhatikan kutipan puisi berikut yang menggunakan citraan penciuman.

Pemandangan Senjakala
Senja yang basah meredakan hutan terbakar
Kelelawar-kelelawar raksasa datang dari langit kelabu tua
Bau mesiu di udara, Bau mayat. Bau kotoran kuda.

Karya W.S. Rendra
Sumber: Horison Sastra Indonesia 1: Kitab Puisi 2002

5). Citraan Pencicipan atau Pencecapan dalam puisi

Citraan pencicipan disebut juga citraan gustatory, yakni citraan yang muncul dari puisi sehingga kita seakan-akan mencicipi suatu benda yang menimbulkan rasa asin, pahit, asam, manis, atau pedas.
Berikut contoh larik-larik puisi yang menimbulkan citraan pencicipan atau pencecapan.

Pembicaraan
Hari mekar dan bercahaya:
yang ada hanya sorga. Neraka
adalah rasa pahit di mulut
waktu bangun pagi
Karya Subagio Sastrowardojo

6). Citraan Gerak dalam puisi

Dalam larik-larik puisi, kamu pun dapat menemukan citraan gerak atau kinestetik. Yang dimaksud citraan gerak adalah gerak tubuh atau otot yang menyebabkan kita merasakan atau melihat gerakan tersebut. Munculnya citraan gerak membuat gambaran puisi menjadi lebih dinamis.
Berikut contoh citraan gerak dalam puisi.

Mimpi Pulang

Di sini aku berdiri, berteman angin
Daun-daun cokelat berguguran
Meninggalkan ranting pohon oak yang meranggas
Dingin mulai mengigit telingaku
Kuperpanjang langkah kakiku
Menyusuri trotoar yang seperti tak berujung
Di antara beton-beton tua yang tidak ramah mengawasiku
Gelap mulai merayap menyusul langkah kakiku
Ah, Gott sei dank! di sana masih ada burung-burung putih
itu
Aku bagaikan pohon oak
Ditemani angin musim gugur yang masih tersisa

Karya Nuning Damayanti Sumber: Bunga yang Terserak, 2003

c. Kata konkret

Untuk membangkitkan imaji (daya bayang) pembaca, maka kata-kata harus diperkonkret. Fungsinya agar pembaca seolah-olah melihat, mendengar, merasa apa yang dilukiskan penyair.

Jika imaji pembaca merupakan akibat dari pengimajian yang diciptakan penyair, maka kata konkret merupakan sebab terjadinya pengimajian itu. Dengan kata yang diperkonkret, pembaca dapat membayangkan secara jelas peristiwa atau keadaan yang dilukiskan oleh penyair. Perhatikan cuplikan puisi yang berjudul “Gadis Peminta-Minta” karya Toto Sudarto Bachtiar berikut!

Setiap kita bertemu, gadis kecil berkaleng kecil
Senyummu terlalu kecil untuk kenal duka
Tengadah padaku, pada bulan merah jambu
Tapi kotaku jadi hilang, tanpa jiwa

Ingin aku ikut, gadis kecil berkaleng kecil
Pulang ke bawah jembatan yang melulur sosok
Hidup dari kehidupan angan-angan yang gemerlapan
Gembira dari kemayaan riang

Duniamu yang lebih tinggi dari menara Katedral
Melintas-lintas di atas air kotor, tapi yang begitu kau hafal
Jiwa begitu murni, terlalu murni
Untuk bisa membagi dukaku

Untuk melukiskan gadis itu benar-benar seorang pengemis gembel, penyair menggunakan kata-kata “gadis kecil berkaleng kecil”. Lukisan itu lebih konkret daripada dengan menggunakan diksi “gadis peminta-minta” atau “gadis miskin”. Untuk melukiskan tempat tidur pengap di bawah jembatan yang hanya dapat untuk menelentangkan tubuh, penyair menulis “pulang ke bawah jembatan yang melulur sosok” . Untuk memperkonkret dunia pengemis yang penuh kemayaan, penyair memperkonkret diksi “hidup dari kehidupan angan-angan yang gemerlapan gembira dari kemayaan riang”. Untuk memperkonkret gambaran tentang martabat gadis itu yang sama halnya memiliki martabat tinggi seperti manusia lainnya, penyair menulis “duniamu yang tinggi dari, menara Katedral”.

Contoh lain karya Rendra dalam ”Ballada Terbunuhnya Atmo Karpo. Ia membuat kata konkret berikut ini.

Dengan kuku-kuku besi, kuda menebah perut bumi
Bulan berkhianat, gosokkan tubuhnya pada pucuk-pucuk para
Mengepit kuat-kuat lutut penunggang perampok yang diburu
Surai bau keringat basah, jenawi pun telanjang.

Kaki kuda yang bersepatu besi disebut penyair /kuku besi/. Kuda itu menapaki jalan tidak beraspal yang disebut /kulit bumi/. Atmo Karpo sebagai perampok yang naik kuda digambarkan sebagai /penunggang perampok yang diburu/. Penggambaran perjalanan Atmo Karpo naik kuda yang meletihkan itu diperkonkret dengan larik /surai bau keringat basah/. Ia siap berperang dan telah menghunus /jenawi / (samurai). Hal ini diperkonkret dengan larik /jenawi pun telanjang/.

Tinggalkan komentar